Setiap memasuki penghujung bulan September, tepatnya pada tanggal 30
September, bangsa ini selalu dihadapkan pada sebuah kenangan sejarah
kelam masa silam. Ya benar sekali sejarah adakalanya sebagai jelmaan
luka lama, ketika kita mengenang sejarah maka siapkanlah untuk membuka
luka lama itu.
Mungkin kita sudah lupa bahwa hari ini tanggal 30 September, dan besok
tanggal 1 Oktober bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Dulu pada era Orde Baru, pertengahan 80-an atau awal 90-an dengan
mudahnya kita mengingat tanggal 30 September ini sekaligus memperingati
Hari Kesaktian Pancasila, karena setiap tanggal 30 September, kita
selalu disuguhi film Pengkhianatan G-30S/PKI. Buat para pembaca yang
lahir tahun 70-an, masih melekat dalam ingatan kita frase dalam film
itu, “Darah itu merah, Jenderal!” atau “Republik sedang hamil tua.”
Film Pengkhianatan G-30S/PKI garapan Arifin C. Noer yang dibuat pada
tahun 1984 ini adalah versi resmi pemerintah Orde Baru tentang kejadian
30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 pagi di Jakarta. Tentang
Sukarno yang sakit, Tjakrabirawa yang siaga, ABRI yang hendak berulang
tahun, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang jaya-jayanya, dan
Soeharto si tentara yang tenang. Sukarno diperankan Umar Kayam, dan
Mayjen Soeharto diperankan Amaroso Katamsi.
Puncak kisahnya ketika PKI menculik tujuh perwira Angkatan Darat, dibawa
ke Lubangbuaya, disiksa (termasuk oleh Gerwani), lalu dibenamkan ke
dalam sumur tua dan sempit di sana. Upaya PKI lebih jauh untuk merebut
kekuasaan kemudian digagalkan Soeharto. Film ini lantas wajib diputar di
seluruh stasiun televisi yang ada kala itu, dan berhenti pada 1998,
masa berakhirnya Orde Baru.
Kita tentu tidak akan membahas tentang film Pengkhianatan G-30S/PKI
garapan Arifin C. Noer, apalagi untuk mengkritisinya. Penulis hanya
menegaskan bahwa sebuah film adalah produk budaya, apalagi ketika film
tersebut “disponsori” oleh regim yang sedang berkuasa, maka sudah bisa
ditebak bahwa produk budaya tersebut merupakan bagian dari upaya
“propaganda” untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kini menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2012,
publik dihentakkan oleh munculnya sebuah film The Act of Killing, tidak
seperti film-film bertema peristiwa 1965 lain, dokumenter karya Joshua
Lincoln Oppenheimer ini memotret peristiwa pembantaian anggota dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama etnis Tionghoa dari
sudut pelaku. Cuplikan film sudah beredar di Internet sejak Selasa pekan
lalu ini menampilkan betapa gembiranya para pelaku berseragam sebuah
organisasi pemuda yang masih ada sampai kini karena berhasil membasmi
musuh negara itu. Wajah mereka juga tidak menampakkan penyesalan.
Ketua Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Haris Azhar memastikan film ini bakal menghebohkan hingga dunia
internasional. Bukan lantaran temanya saja, namun film ini juga memotret
langsung pelaku lapangan dari organisasi yang sampai saat ini masih
berpengaruh. “Film ini akan makin menunjukkan apa sebenarnya terjadi
pada pembantaian 1965,” katanya - merdeka.com
Komentar serupa juga meluncur dari lisan sejarawan Asvi Warman Adam. Dia
menegaskan The Act of Killing bakal makin menguatkan bukti perlunya
pembentukan pengadilan hak asasi adhoc buat kasus 1965, seperti
rekomendasi dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Juli lalu. Dia
yakin film ini bakal mengubah pandangan Barat dalam konteks Perang
Dingin terhadap peristiwa 1965. “Selama ini masyarakat Barat mengakui
(pembantaian PKI) itu jahat tapi perlu dilakukan,” ujar Asvi saat
dihubungi secara terpisah.
Film sepanjang 115 menit ini dipuji sejumlah kalangan. “Saya belum
pernah melihat satu film berpengaruh dan menakutkan (seperti The Act of
Killing) dalam satu dekade terakhir,” kata Werner Herzog (aktor,
sutradara, dan produser asal Jerman), seperti dikutip dari situs
theactofkilling.com. “The Act of Killing sangat mengejutkan dalam
sejarah film.”
Errol Mark Morris menilai The Act of Killing sebagai potret luar biasa
dari pembantaian massal. “Sebuah film menakjubkan dan mengesankan,” kata
sutradara dari Amerika Serikat ini. Surat kabar the Guardian sembilan
tahun lalu menempatkan lelaki 64 tahun ini pada peringkat ketujuh dalam
daftar 40 sutradar terbaik sejagat. Bukan sekadar cerita dan tokohnya
yang kontroversial, penggarapannya juga bisa menjadi polemik.
Oppenheimer bekerja sama dengan sejumlah pihak di Indonesia, namun
identitas mereka disembunyikan. Ini termasuk satu dari tiga sutradara
selain Oppenheimer dan Christine Cynn.
Ternyata film The Act of Killing tidak hanya kontroversi dalam tema
maupun isinya, namun film ini juga memincu kontroversi karena pemeran
utamanya yaitu Anwar Kongo “merasa tertipu” oleh ulah sutradaranya.
Anwar yang menjadi pemeran utama tahunya film itu berjudul Arsan dan
Aminah, bukan The Act of Killing yang Sabtu pekan ini diputar di
Festival Film Internasional Toronto, Kanada.
Pada konferensi pers, Anwar mengaku bingung karena tidak pernah nonton
film The Act of Killing. Dia menyatakan ingin sekali menonton film The
Act of Killing secara penuh. “Siapa yang tidak ingin? Tapi sampai
sekarang saya belum mendapatkannya,” ujar Anwar. Seorang jurnalis yang
ikut dalam temu pers itu mengaku sudah menonton film ini di Jakarta.
“Filmnya bagus banget, layak dapat penghargaan. Tapi diputarnya masih
secara rahasia,” ujarnya.
Sementara, Anwar juga kembali mengaku merasa tertipu dengan pembuatan
film itu. “Soal langkah hukum, saya akan bicarakan dengan penasihat
hukum saya,” ungkapnya. Hari-hari ke depan publik pasti disibukkan oleh
kontroversi film The Act of Killing, yang konon copy-nya sudah beredar
untuk kalangan terbatas.
Sumber : hiburan.kompasiana.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !